KENAIKAN BBM, SEBUAH
KEBIJAKAN YANG TEPAT?
Firdaus Firman*
Rencana Pemerintah SBY menaikkan harga BBM per
April mendatang mendapatkan tanggapan yang beragam dari berbagai pihak. Hampir
semua komponen mahasiswa dan sebagian partai politik menentang keras kebijakan
ini. PDI-P, Hanura, PKS, dan segenap LSM lain juga turut bersuara keras
menentang rencana kebijakan yang sangat tidak populis ini. Namun tidak semua
kalangan menentang kebijakan kenaikan ini, seperti halnya yang pernah
disampaikan YLKI dan Mantan Wapres Yusuf Kalla yang bisa memahami kenaikan ini
dengan berbagai catatan.
Kebijakan ini memang bukanlah sebuah kebijakan
populis dan disukai oleh pemerintah yang berkuasa yang sekalipun. Namun hal ini
dapat dipahami dalam konteks kondisi perekonomian Indonesia yang semakin hari
semakin berat menanggung beban subsidi yang terus meningkat jika dikaitkan
dengan harga pasar yang juga semakin tinggi. Untuk tahun 2011 saja, subsidi BBM
ini menurut Menkeu, Agus Martowardojo membengkak hingga mencapai Rp 165,2
Triliun, dimana sebelum perubahan anggaran hanya dialokasikan Rp 129 T. (Tempo,
5 Maret 2012). Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti
Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB), Fakultas Ekonomika dan
Bisnis (FEB) UGM baru-baru ini, jumlah sebesar itu paling tidak 8,5 kali
lipat dari subsidi pangan, 68 kali bantuan kredit, dan 1.000 kali bantuan bibit
pertanian
Jika melihat realita lapangan, disamping
membebani anggaran pemerintah, harus kita akui subsidi BBM sepenuhnya ternyata
tidak dinikmati secara langsung oleh masyarakat miskin Indonesia. Penelitian
yang pernah dilakukan oleh BAPPENAS tujuh tahun yang silam memperlihatkan
bagaimana subsidi BBM ternyata tidaklah tepat sasaran, karena 40% kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah (tahun 2005) hanya mengkonsumsi 16%, sementara
kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi sebanyak 60% mengkonsumsi BBM sebesar
80% (Budi K, dalam Warta ISEI 2005). Dengan arti kata, persoalan subsidi BBM
selama ini tidaklah mampu membuat masyarakat miskin menikmati uang negara yang
jumlahnya semakin hari semakin membesar dalam bentuk subsidi BBM tersebut.
Pada hematnya, penulis bisa sedikit memahami
rencana kenaikan harga BBM ini yang secara otomatis akan mengurani beban
keuangan negara. Kenapa hanya sedikit yang bisa dipahami? Hal ini lebih
dikarenakan masih banyaknya sumber-sumber lain yang bisa dioptimalisasi pemerintah
untuk menambah pendapatan Negara. Tapi tentu saja ini membutuhkan kemauan,
kerja keras, dan itikad baik dari pemerintah itu sendiri. Sedangkan kebijakan
penguranan subsidi BBM merupakan kerja yang praktis dan paling gampang
dilakukan, dan tidak butuh energi keras untuk mendapatkannya. Sebagai contoh
optimalisasi pendapatan Negara dari sektor pajak yang bisa dilakukan dengan
melakukan renegosiasi ulang secara menyeluruh terhadap kontrak pertambangan
asing di Indonesia, seperti dengan PT Freeport, dll. PT Freeport sebagaimana
kita ketahui hanya menyumbangkan belasan triliun setiap tahunnya, jauh dibawah
pendapatan negara dari cukai rokok yg mencapai Rp 60 T lebih.
Namun sekali lagi, hal itu bukanlah sebuah
pekerjaan mudah, karena dibutuhkan seorang Presiden yang berani menghadapi kaum
kapitalis dunia yang didukung oleh Negara super power. Hanya Presiden yang
berani mati yang mampu melakukan tersebut dan berdiri paling depan dalam
melakukan renegosiasi ulang kontrak-kontrak tersebut. Sekarang, kita lupakan
sejenak peningkatan pendapatan dari sektor-sektor tersebut, karna memang
rasanya kita belum mempunyai pemimpin berani seperti itu.
Subsidi BBM yang besar yang mengakibatkan
disparitas harga yang tinggi antara Indonesia dengan Negara lainnya, juga mengakibatkan
terjadinya berbagai bentuk penyelundupan BBM yang mengakibatkan kerugian
yang luar biasa bagi pemerintah Indonesia. Penyelundupan bukan hanya dilakukan
ke luar negeri, tetapi juga dilakukan ke Perusahaan-perusahaan besar dengan
berbagai modus operasi.Belum lagi dengan berbagai temuan yang menyatakan bahwa
pemakaian BBM di Indonesia yang termasuk tinggi jika dibandingkan dengan
Negara-negara ASEAN lain bahkan dengan Negara—negara Asia sekalipun.
Disamping dikarenakan infrastruktur/peralatan
yang dipakai untuk konsumsi BBM di Indonesia memang tidak lebih baik dibanding
negara lain, faktor BBM yang relatif murahpun memicu pemakaian BBM secara boros
di kalangan penggunanya, terutama pengguna transportasi. Dan kalau hal ini
tidak diwaspadai sedari dini, tentu saja akan membahayakan bagi cadangan minyak
bumi di Indonesia itu sendiri, dimana cadangan yang tersedia tidaklah terlalu
besar jika dibandingkan dengan Negara-negara OPEC lainnya, apalgi jika harus
dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230-an juta jiwa.
Berbicara Solusi
Kenaikan BBM sudah sepantasnya dilaksanakan meski
mendapat berbagai kecaman dari berbagai pihak. Pencabutan subsidi bukanlah
sebuah keputusan yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin, tapi justru
lebih pro kepada ekonomi masyarakat miskin. Tapi dengan beberapa catatan yang
mau tidak mau harus dilakukan oleh Pemerintah, untuk menjamin pemindahan
alokasi dana yang selama ini diberikan kepada subsidi BBM untuk dialihkan
menjadi subsidi kepada masyarakat miskin dalam bentuk : 1) Pemerintah harus
memastikan, bahwa setiap penduduk miskin Indonesia mendapatkan kebutuhan pokok
yang menjamin keberlangsungan hidup mereka. 2) Pemerintah harus menjamin
tersedianya pelayanan kesehatan yang betul-betul gratis dan berkualitas untuk
segala bentuk penyakit yang dialami masyarakat miskin. 3) Pemerintah harus
menjamin terciptanya layanan pendidikan yang gratis dan berkualitas bagi
masyarakat miskin. 4) Pemerintah secara bertahap membantu masyarakat miskin
dalam mewujudkan kebutuhan papan yang layak. 5) Terakhir Peningkatan
infrasturktur
Lalu bagaimana dengan masyarakat ekonomi menengah
yang jumlahnya juga tidak sedikit? Pemerintah tinggal mengoptimalisasikan
sistim ‘kartu’ untuk pembagian dalam layanan publik seperti yang disebutkan,
sebagaimana yang juga telah dilakukan oleh beberapa daerah di Indonesia,
seperti Jembrana, dll. Kartu Silver, Gold, Platinum, dll, dimana bagi
masyarakat kelas memengah akan mendapatkan subsidi dalam layanan publik mereka.
TIdak gratis memang, tapi juga tidak terlalu mahal.
Ini memang pekerjaan sulit, tapi ini merupakan
impian penulis khususnya di masa-masa yang akan datang. Dan bukan tidak
mungkin, bisa dilaksanakan dalam waktu dekat, jika Presiden dan segenap
aparaturnya bisa menjelaskan dan menjamin kompensasi ini berjalan dengan baik.
Dan ini juga bukan pekerjaan mudah, karna harus mengurus 230 juta jiwa penduduk
Indonesia yang tersebar di ribuan kepulauan. Ditambah lagi dengan kaum-kaum
borjouis politik yang tentu saja akan membuat kegaduhan politik dalam suasana
seperti itu.
Namun, kenaikan BBM yang dimaksud tentu saja
bukan kenaikan BBM yang dilakukan secara cepat dan drastis. Butuh waktu dan
dilakukan secara bertahap, selaras dengan kemampuan pemerintah untuk secara
bertahap juga memikirkan formula yang tepat dalam melakukan program
pengalihananggaran subsidi BBM ini kepada masyarakat miskin. Dalam bahasa
Brahmantio Isdijoso (200) dalam salah satu studinya adalah Long Term
Pricing Privacy dan terus mempertimbangkan situasi pada setiap dimensi
waktu (existing condition), yang dilakukan dalam empat tahap : 1)subsidized
price, atau harga tersubsidi terkurangi. 2) zero subsidy,
yakni subsidi dinolkan. 3)economic price, dimana harga BBM yang
dihasilkan kilang Indonesia, relatif tidak jauh berbeda dengan harga BBM di
kilang yang menjadi benchmark perdagangan BBM dunia. 4) Economic
Price and tax, dimana harga BBM disesuaikan dengan harga pasar ditambah
pajak.
Penerapan bertahap kebijakan yang tidak populis
ini juga harus diimbangi dengan peningkatan citra pemerintah di hadapan
masyarakat, baik dengan cara pemberantas korupsi yang menyeluruh, penegakan
hukum yang berwibawa, pengurangan belanja pemerintah yang tidak berpengaruh
terhadap penambahan faktor-faktor produksi, dan kebijakan-kebijakan lain yang
memperlihatkan pro poor policy and pro pro poor budgeting,
sehingga pemerintah menjadi berwibawa di mata rakyat.
Sekali lagi, sebagai sebuah kebijakan yang
diindikasikan tidak tepat sasaran, sebenarnya penulis tidak terlalu
mempermasalahkan pengurangan subsidi BBM secara bertahap dengan menaikkan harga
BBM. Pertimbangan Kenaikan BBM bukan hanya pertimbangan politik semata,
tetapi juga pertimbangan-pertimbangan lain, termasuk ekonomi. Secara sederhana,
bisa dikatakan bahwa subsisi BBM adalah kebijakan yang gagal, dimana subsidi
yang semakin meningkat, tapi tidak diikuti dengan kesejahteraan obyek
masyarakat yang menjadi tujuan program subsidi tersebut. Bahkan yang menikmati
subsidi bukanlah masyarakat miskin tetapi lebih kepada masyarakat yang
berpenghasilan tinggi. Mengutip kata-kata Hanan Nugroho, seorang
perencana energy pada Kementrian Bappenas, “Bagi Indonesia, memanfaatkan
pendapatan minyak secara lebih bijaksana adalah lebih baik daripada
menggunakannya untuk membiayai konsumsi BBM yang boros oleh masyarakat”
Wallahu Alam.
Silahkan berbeda…!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar