Minggu, 03 Juni 2012

BERITA


KENAIKAN BBM, SEBUAH KEBIJAKAN YANG TEPAT?
Firdaus Firman*
Rencana Pemerintah SBY menaikkan harga BBM per April mendatang mendapatkan tanggapan yang beragam dari berbagai pihak. Hampir semua komponen mahasiswa dan sebagian partai politik menentang keras kebijakan ini. PDI-P, Hanura, PKS, dan segenap LSM lain juga turut bersuara keras menentang rencana kebijakan yang sangat tidak populis ini. Namun tidak semua kalangan menentang kebijakan kenaikan ini, seperti halnya yang pernah disampaikan YLKI dan Mantan Wapres Yusuf Kalla yang bisa memahami kenaikan ini dengan berbagai catatan.
Kebijakan ini memang bukanlah sebuah kebijakan populis dan disukai oleh pemerintah yang berkuasa yang sekalipun. Namun hal ini dapat dipahami dalam konteks kondisi perekonomian Indonesia yang semakin hari semakin berat menanggung beban subsidi yang terus meningkat jika dikaitkan dengan harga pasar yang juga semakin tinggi. Untuk tahun 2011 saja, subsidi BBM ini menurut Menkeu, Agus Martowardojo membengkak hingga mencapai Rp 165,2 Triliun, dimana sebelum perubahan anggaran hanya dialokasikan Rp 129 T. (Tempo, 5 Maret 2012). Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB), Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM baru-baru ini, jumlah sebesar itu  paling tidak 8,5 kali lipat dari subsidi pangan, 68 kali bantuan kredit, dan 1.000 kali bantuan bibit pertanian
Jika melihat realita lapangan, disamping membebani anggaran pemerintah, harus kita akui subsidi BBM sepenuhnya ternyata tidak dinikmati secara langsung oleh masyarakat miskin Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan oleh BAPPENAS tujuh tahun yang silam memperlihatkan bagaimana subsidi BBM ternyata tidaklah tepat sasaran, karena 40% kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (tahun 2005) hanya mengkonsumsi 16%, sementara kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi sebanyak 60% mengkonsumsi BBM sebesar 80% (Budi K, dalam Warta ISEI 2005). Dengan arti kata, persoalan subsidi BBM selama ini tidaklah mampu membuat masyarakat miskin menikmati uang negara yang jumlahnya semakin hari semakin membesar dalam bentuk subsidi BBM tersebut.
Pada hematnya, penulis bisa sedikit memahami rencana kenaikan harga BBM ini yang secara otomatis akan mengurani beban keuangan negara. Kenapa hanya sedikit yang bisa dipahami? Hal ini lebih dikarenakan masih banyaknya sumber-sumber lain yang bisa dioptimalisasi pemerintah untuk menambah pendapatan Negara. Tapi tentu saja ini membutuhkan kemauan, kerja keras, dan itikad baik dari pemerintah itu sendiri. Sedangkan kebijakan penguranan subsidi BBM merupakan kerja yang praktis dan paling gampang dilakukan, dan tidak butuh energi keras untuk mendapatkannya. Sebagai contoh optimalisasi pendapatan Negara dari sektor pajak yang bisa dilakukan dengan melakukan renegosiasi ulang secara menyeluruh terhadap kontrak pertambangan asing di Indonesia, seperti dengan PT Freeport, dll. PT Freeport sebagaimana kita ketahui hanya menyumbangkan belasan triliun setiap tahunnya, jauh dibawah pendapatan negara dari cukai rokok yg mencapai Rp 60 T lebih.
Namun sekali lagi, hal itu bukanlah sebuah pekerjaan mudah, karena dibutuhkan seorang Presiden yang berani menghadapi kaum kapitalis dunia yang didukung oleh Negara super power. Hanya Presiden yang berani mati yang mampu melakukan tersebut dan berdiri paling depan dalam melakukan renegosiasi ulang kontrak-kontrak tersebut. Sekarang, kita lupakan sejenak peningkatan pendapatan dari sektor-sektor tersebut, karna memang rasanya kita belum mempunyai pemimpin berani seperti itu.
Subsidi BBM yang besar yang mengakibatkan disparitas harga yang tinggi antara Indonesia dengan Negara lainnya, juga mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk penyelundupan BBM  yang mengakibatkan kerugian yang luar biasa bagi pemerintah Indonesia. Penyelundupan bukan hanya dilakukan ke luar negeri, tetapi juga dilakukan ke Perusahaan-perusahaan besar dengan berbagai modus operasi.Belum lagi dengan berbagai temuan yang menyatakan bahwa pemakaian BBM di Indonesia yang termasuk tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lain bahkan dengan Negara—negara Asia sekalipun.
Disamping dikarenakan infrastruktur/peralatan yang dipakai untuk konsumsi BBM di Indonesia memang tidak lebih baik dibanding negara lain, faktor BBM yang relatif murahpun memicu pemakaian BBM secara boros di kalangan penggunanya, terutama pengguna transportasi. Dan kalau hal ini tidak diwaspadai sedari dini, tentu saja akan membahayakan bagi cadangan minyak bumi di Indonesia itu sendiri, dimana cadangan yang tersedia tidaklah terlalu besar jika dibandingkan dengan Negara-negara OPEC lainnya, apalgi jika harus dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230-an juta jiwa.
Berbicara Solusi
Kenaikan BBM sudah sepantasnya dilaksanakan meski mendapat berbagai kecaman dari berbagai pihak. Pencabutan subsidi bukanlah sebuah keputusan yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin, tapi justru lebih pro kepada ekonomi masyarakat miskin. Tapi dengan beberapa catatan yang mau tidak mau harus dilakukan oleh Pemerintah, untuk menjamin pemindahan alokasi dana yang selama ini diberikan kepada subsidi BBM untuk dialihkan menjadi subsidi kepada masyarakat miskin dalam bentuk : 1) Pemerintah harus memastikan, bahwa setiap penduduk miskin Indonesia mendapatkan kebutuhan pokok yang menjamin keberlangsungan hidup mereka.  2) Pemerintah harus menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang betul-betul gratis dan berkualitas untuk segala bentuk penyakit yang dialami masyarakat miskin. 3) Pemerintah harus menjamin terciptanya layanan pendidikan yang gratis dan berkualitas bagi masyarakat miskin. 4) Pemerintah secara bertahap membantu masyarakat miskin dalam mewujudkan kebutuhan papan yang layak. 5) Terakhir Peningkatan infrasturktur
Lalu bagaimana dengan masyarakat ekonomi menengah yang jumlahnya juga tidak sedikit? Pemerintah tinggal mengoptimalisasikan sistim ‘kartu’ untuk pembagian dalam layanan publik seperti yang disebutkan, sebagaimana yang juga telah dilakukan oleh beberapa daerah di Indonesia, seperti Jembrana, dll. Kartu Silver, Gold, Platinum, dll, dimana bagi masyarakat kelas memengah akan mendapatkan subsidi dalam layanan publik mereka. TIdak gratis memang, tapi juga tidak terlalu mahal.
Ini memang pekerjaan sulit, tapi ini merupakan impian penulis khususnya di masa-masa yang akan datang. Dan bukan tidak mungkin, bisa dilaksanakan dalam waktu dekat, jika Presiden dan segenap aparaturnya bisa menjelaskan dan menjamin kompensasi ini berjalan dengan baik. Dan ini juga bukan pekerjaan mudah, karna harus mengurus 230 juta jiwa penduduk Indonesia yang tersebar di ribuan kepulauan. Ditambah lagi dengan kaum-kaum borjouis politik yang tentu saja akan membuat kegaduhan politik dalam suasana seperti itu.
Namun, kenaikan BBM yang dimaksud tentu saja bukan kenaikan BBM yang dilakukan secara cepat dan drastis. Butuh waktu dan dilakukan secara bertahap, selaras dengan kemampuan pemerintah untuk secara bertahap juga memikirkan formula yang tepat dalam melakukan program pengalihananggaran subsidi BBM ini kepada masyarakat miskin. Dalam bahasa Brahmantio Isdijoso (200) dalam salah satu studinya adalah Long Term Pricing Privacy dan terus mempertimbangkan situasi pada setiap dimensi waktu (existing condition), yang dilakukan dalam empat tahap : 1)subsidized price, atau harga tersubsidi terkurangi. 2) zero subsidy, yakni subsidi dinolkan. 3)economic price, dimana harga BBM yang dihasilkan kilang Indonesia, relatif tidak jauh berbeda dengan harga BBM di kilang yang menjadi benchmark perdagangan BBM dunia. 4) Economic Price and tax, dimana harga BBM disesuaikan dengan harga pasar ditambah pajak.
Penerapan bertahap kebijakan yang tidak populis ini juga harus diimbangi dengan peningkatan citra pemerintah di hadapan masyarakat, baik dengan cara pemberantas korupsi yang menyeluruh, penegakan hukum yang berwibawa, pengurangan belanja pemerintah yang tidak berpengaruh terhadap penambahan faktor-faktor produksi, dan kebijakan-kebijakan lain yang memperlihatkan pro poor policy and pro pro poor budgeting, sehingga pemerintah menjadi berwibawa di mata rakyat.
Sekali lagi, sebagai sebuah kebijakan yang diindikasikan tidak tepat sasaran, sebenarnya penulis tidak terlalu mempermasalahkan pengurangan subsidi BBM secara bertahap dengan menaikkan harga BBM. Pertimbangan Kenaikan BBM bukan hanya  pertimbangan politik semata, tetapi juga pertimbangan-pertimbangan lain, termasuk ekonomi. Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa subsisi BBM adalah kebijakan yang gagal, dimana subsidi yang semakin meningkat, tapi tidak diikuti dengan kesejahteraan obyek masyarakat yang menjadi tujuan program subsidi tersebut. Bahkan yang menikmati subsidi bukanlah masyarakat miskin tetapi lebih kepada masyarakat yang berpenghasilan tinggi.  Mengutip kata-kata Hanan Nugroho, seorang perencana energy pada Kementrian Bappenas, “Bagi Indonesia, memanfaatkan pendapatan minyak secara lebih bijaksana adalah lebih baik daripada menggunakannya untuk membiayai konsumsi BBM yang boros oleh masyarakat”
Wallahu Alam.
Silahkan berbeda…!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar